Di Banten ada tradisi yang sudah berlangsung sejak 15 Abad yang
lalu, suatu kebiasaan yang sangat sulit untuk dilupakan, karena kebiasaan ini
hadir bukan hanya sebagai santapan pembuka dibulan Ramadhan saja, tetapi sudah
menjadi makanan keseharian bagi masyarakat Banten dari berbagai macam kalangan
dan golongan.
Namun Ketan Bintul akan lebih mudah kita jumpai pada saat bulan
Ramadhan disepanjang daerah pinggiran pasar lama Serang, dijual dengan harga
murah dengan uang Rp500,00,- kita sudah memperoleh 3 potong.
Karena bagi masyarakat Banten sendiri keberadaan Ketan Bintul
dibulan Ramadhan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan."Tanpa Ketan
Bintul dibulan Ramadhan ini, terasa tidak puasa", begitulah adagium yang
sudah mengakar di Banten.
Konon menurut cerita dari orang-orang tua terdahulu, ketan bintul
merupakan makanan kegemaran Sultan Maulana Hasanuddin, seorang pangeran yang
menjadi panutan masyarakat kerajaan Banten pada waktu itu.
Padahal makanan ini diketahui adalah makanan khas rakyat biasa.
Karena seorang Sultan memiliki budi pekerti yang tinggi dan selalu menjadi
contoh ahlak dan prilakunya dimata rakyatnya, maka sejak rakyat mengetahui
seorang Sultan juga menyukai ketan bintul, maka sejak itulah mulai menjadi
budaya, bila seseorang berbuka puasa dengan ketan bintul maka seakan-akan
menghargai dan menghormati Sultan. Dan ada kebanggaan tersendiri saat
menikmatinya.
Padahal kita tahu kental bintul dilihat dari model, rupa dan bahan
yang sama dengan uli atau gemblong makanan khas lain yang ada di Banten juga.
Bahkan bahan dan cara pembuatannya tidak jauh berbeda yakni dari beras ketan.
Namun masyarakat Banten adalah masyarakat yang selalu menghargai peninggalan
nenek moyangnya, adalah hal yang wajar bila masih terobsesi pada hikayat lama,
disamping itu ketan bintul mempunyai keunikan yang membedakan dari makanan yang
sejenisnya.
Biasanya masyarakat Banten khususnya Serang yang mempunyai keluarga
dan kerabat yang banyak terbiasa membuat sendiri panganan tersebut, mungkin
memanfaatkan beras ketan dari hasil panennya, tapi yang pasti untuk memberikan
suguhan yang khas bagi para tamu dan keluarga pada saat berbuka puasa.
Ketan bintul terbuat dari beras ketan yang dikukus, setelah nampak
matang, lalu di letakan pada sebuah wadah yang sudah disiapkan, dahulu wadah
tersebut dari bekas karung beras yang terbuat dari plastik yang tidak ada
gambarnya atau merknya karena akan mengotori ketan yang akan ditumbuk ketika gambar
itu luntur, diletakan dibawah pada lantai atau semen yang rata sebagai tilam.
Ketan yang sudah dipastikan matang tersebut kemudian ditumbuk halus masih dalam
keadaan panas dengan sebuah alu kayu yang ujungnya diberi pelapis dari plastik
atau alat penumbuk lainnya yang bersih dan tidak mudah luntur.
Menumbuknyapun harus dengan tenaga yang besar, disini perlu
diperhatikan beras yang sudah menjadi ketan tersebut jangan sampai kehilangan
panasnya, agar pada saat menumbuk cepat halus dan empuk. Makanya membutuhkan
kecepatan dan kecermatan serta mengerti betul bagian-bagian mana yang belum
tertumbuk.
Sambil membolak-balik penumbukan terus dilakukan hingga diyakini
tidak ada bagian sedikitpun yang tidak tertumbuk.
Memang melakukannya tidak boleh ada istirahat, karena panas yang
dikandung pada ketan akan cepat menguap dan lekas menjadi dingin, bila ini yang
terjadi ketan akan sangat keras ditumbuknya maka akan sulit mendapatkan hasil
yang bagus dan sempurna, kemungkinan juga hasilnya akan gagal.
Untuk itu pekerjaan semacam ini harus dilakukan minimal dua orang,
dengan membagi tugas saling bergantian, satu menumbuk dengan alat penumbuk
berupa alu kayu yang ada bebannya, satu lagi membolak-balikan agar merata
halusnya. Pekerjaan yang dilakukan dua orang biasanya akan maksimal.
Bila ingin menghasilkan yang lebih bagus, gurih dan ada rasanya,
pada saat pengukusan beras ketan dicampur dengan parutan kelapa dan sedikit
garam. Selain itu pada saat penumbukan harus mengerahkan tenaga yang besar.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan ukuran 5 kg beras ketan memakan waktu
tidak kurang dari 1jam.
Apabila sudah terlihat rata halusnya yang ditandai lengketnya uli
(ketan yang sudah ditumbuk halus), segera beberkan atau dibentuk sesuai
keinginan tebal dan ukurannya, yang umum dijajakan pedagang biasanya berbentuk
wajik yang dibungkus dengan daun pisang, agar awet dan tetap nampak kelihatan
putih.
Setelah itu siapkan parutan kelapa sesuai kebutuhan, lalu disangrai
(digoreng tanpa minyak goreng), sampai terus diaduk-aduk agar merata matangnya.
Kalau sudah nampak kecoklat-coklatan ditiriskan beberapa menit, kemudian
digerus dengan menggunakan alat penggerus dari batu kali yang umum dipakai oleh
ibu-ibu rumah tangga, sampai halus benar.
Bila sudah halus tambahkan gula pasir dan garam halus, satukan biar
merata benar manis dan asinnya.
Untuk menggugah selera ambil cabai merah secukupnya, iris
kecil-kecil memanjang. Kemudian buatlah goreng bawang merah agar harum dan
beraroma, Pisahkan dengan bubuk sangrai kelapa tadi (bintul) jangan dicampur.
Menjelang berbuka puasa tiba sajikan uli yang sudah dipotong-potong
tadi lalu taburkan diatasnya bintul, irisan cabai merah dan goreng bawang
merah, ditemani segelas kopi atau teh manis, kelezatan dan kenikmatannya tak
terbayangkan, apalagi diluar hujan turun rintik-rintik, dengan angin yang
semilir membuat lupa diri ingin tambah dan tambah lagi,tanpa disadari waktu
sholat mahgrib hampir habis.
0 komentar:
Posting Komentar